Bab
IV
Khittah Nahdlatul
Ulama (NU)
A. Khittah Nahdlatul Ulama (NU)
Pada Muktamar ke-27 tahun 1984, secara resmi NU kembali ke Khittah NU
1926. Hal ini ditandai dengan keluarnya NU dari PPP. Sejak saat itu, NU kembali
menjadi organisasi sosial keagamaan sebagaimana saat NU didirikan pada 31.
1. Pengertian Khittah Nahdlatul Ulama (NU)
Khittah berarti garis. Dalam hubungannya dengan Nahdlatul Ulama, kata
khittah berarti garis-garis pendirian, perjuangan, dan kepribadian NU, baik
yang berhubungan dengan urusan keagamaan maupun kemasyarakatan, baik
secara perorangan maupun organisasi.
Khittah Nahdlatul Ulama adalah landasan berpikir, bersikap, dan bertindak
warga Nahdlatul Ulama yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perorangan
dan organisasi serta dalam setiap proses pengambilan keputusan.
Pada Muktamar NU Ke-27 tahun 1984 di Situbondo, Jawa Timur dise-
butkan bahwa Khittah NU 1926 adalah landasan berpikir, bersikap, dan
bertindak warga NU yang harus dicerminkan dalam tingkah laku dan proses
pengambilan keputusan, baik perseorangan maupun organisasi. Landasan
tersebut ialah paham Islam Ahlussunnah Wal-Jama'ah yang diterapkan
menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia. Hal itu meliputi dasar-dasar
amal keagamaan dan kemasyarakatan. Dengan demikian, Khittah NU 1926
digali dari inti sari perjalanan sejarah khidmahnya dari masa ke masa. Menurut
Kiai Muchit, Khittah NU 1926 merupakan dasar agama warga NU, akidahnya,
syariatnya, tasawufnya, dan paham kenegaraannya.
Dari pengertian khittah tersebut dapat dipahami bahwa seluruh pikiran,
sikap, dan tindakan warga NU harus berlandaskan khittah NU, baik secara
perseorangan maupun organisatoris kolektif. Setiap kali mengambil keputusan,
proses, prosedur, dan hasil keputusannya harus sesuai dengan khittah NU.
Oleh karena khittah NU berlandaskan pada paham Ahlussunnah Wal-
Jama'ah, segala keputusan dalam NU harus ditempuh melalui cara-cara
yang sesuai dengan norma-norma Ahlussunnah Wal-Jama'ah, yaitu melalui
musyawarah dengan mempertimbangkan segala kepentingan secara seimbang
serta dengan menggunakan dalil-dalil dan kaidah-kaidah keagamaan. Peng-
ambilan keputusan itu tidak boleh hanya mengikuti kehendak nafsu (emosi)
atau kepentingan sesaat dan mengabaikan berbagai pertimbangan yang wajar yang sesuai pada tempatnya.
2. Materi Khittah Nahdlatul Ulama (NU)
Bagi Nahdlatul Ulama, pemahaman Ahlussunnah Wal-Jama'ah itu tidak
hanya terbatas pada bidang akidah saja, tetapi juga meliputi bidang fikih, tasawuf,
akhlak, dan kemasyarakatan. Hal ini merupakan salah satu ciri khas NU di dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan Islam Ahlussunnah Wal-Jama'ah.
Ciri khas lain yang dimiliki NU dalam memahami, menghayati, dan
mengamalkan Islam Ahlussunnah Wal-Jama'ah adalah menerapkannya sesuai
kondisi kemasyarakatan di Indonesia. Hal ini bukan berarti NU mengubah ajaran
Islam untuk disesuaikan dengan keadaan masyarakat Indonesia. Akan tetapi, NU
memahami Islam sebagai agama yang harus diperjuangkan penerapannya di seluruh dunia. Ada sebagian ajaran Islam yang diterapkan seragam di seluruh dunia dan ada sebagian yang prinsipnya seragam, tetapi wujud penerapannya pada suatu tempat berbeda dengan tempat yang lain karena perbedaan kondisi dan situasi.
Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa ajaran birrul-walidain merupakan
bagian dari ajaran Islam yang harus diterapkan dan diamalkan di seluruh dunia.
Akan tetapi, wujud nyata dari penghormatan terhadap orang tua boleh jadi berbeda
antara satu negara dan negara lainnya.
a. Paham Keagamaan NU
Dari kedua sudut pandang pemahaman ajaran Islam Ahlussunnah Wal-
Jama'ah tersebut, rumusan materi khittah NU dapat disusun sebagai berikut.
1) Nahdlatul Ulama mendasarkan paham keagamaannya kepada sumber
ajaran Islam, yaitu Al-Qur'an, as-Sunnah, al-Ijma', dan al-Qiyas.
2) Dalam memahami dan menafsirkan Islam dari sumber-sumbernya
tersebut, Nahdlatul Ulama mengikuti paham Ahlussunnah Wal-Jama'ah
dan menggunakan jalan pendekatan (mazhab) sebagai berikut.
a) Di bidang akidah, Nahdlatul Ulama mengikuti paham Ahlussunnah
Wal-Jama'ah yang dipelopori oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi.
b) Di bidang fikih, Nahdlatul Ulama mengikuti salah satu jalan
pendekatan (mazhab) dari Imam Abu Hanifah an-Nu'man, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hanbal.
c) Di bidang tasawuf, Nahdlatul Ulama mengikuti ajaran Imam al-Junaid
al-Bagdadi dan Imam al-Gazali.
3) Nahdlatul Ulama mengikuti pendirian bahwa Islam adalah agama fitri yang
menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki manusia. Paham
keagamaan yang
dianut oleh Nahdlatul Ulama bersifat menyempurnakan
nilai-nilai yang baik yang sudah ada dan menjadi milik serta ciri-ciri
suatu kelompok manusia, seperti suku atau bangsa, dan tidak bertujuan
menghapus nilai-nilai tersebut.
b. Sikap Kemasyarakatan NU
Dasar-dasar pendirian paham keagamaan Nahdlatul Ulama tersebut
menumbuhkan sikap kemasyarakatan yang bercirikan hal-hal sebagai berikut.
1) Sikap tawassut dan iktidal, yaitu sikap tengah yang berintikan prinsip
menjunjung tinggi keharusan berlaku adil di tengah-tengah kehidupan
bersama. Dengan sikap dasar ini, Nahdlatul Ulama akan selalu menjadi
kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus serta selalu bersifat
membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat
tatarruf (tatarruf) atau ekstrim.
2) Sikap tasamuh, yaitu sikap toleran terhadap perbedaan pandangan,
baik dalam masalah keagamaan, terutama dalam hal-hal yang bersifat
furu (cabang), atau menjadi masalah khilafiah, maupun dalam masalah
kemasyarakatan dan kebudayaan.
3) Sikap tawazun, yaitu sikap seimbang dalam berkhidmah. Nahdlatul Ulama
menyerasikan khidmah kepada Allah swt. dengan khidmah kepada sesama manusia serta khidmah kepada lingkungan hidupnya. Nahdlatul Ulama juga menyelaraskan kepentingan masa lalu dengan kepentingan masa kini
dan masa datang.
4) Amar makruf nahi mungkar, yaitu selalu memiliki kepekaan untuk
mendorong perbuatan yang baik, berguna, dan bermanfaat bagi kehidupan
bersama serta menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan
dan merendahkan nilai-nilai kehidupan.
Dasar-dasar keagamaan dan sikap kemasyarakatan tersebut membentuk
perilaku warga Nahdlatul Ulama, baik secara perorangan maupun organisasi.
Perilaku-perilaku tersebut adalah
a. menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma-norma ajaran Islam;
b. mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi;
c. menjunjung tinggi keikhlasan dalam berkhidmah dan berjuang;
d. menjunjung tinggi persaudaraan (al-ukhuwwah), persatuan (al-ittihad),
serta saling mengasihi;
e. meluhurkan kemuliaan moral (al-akhlakul-karimah) dan menjunjung
tinggi kejujuran (as-sidqu) dalam berpikir, bersikap, dan bertindak;
f. menjunjung tinggi kesetiaan (loyalitas) kepada agama, bangsa, dan negara;
g. menjunjung tinggi nilai amal, kerja, dan prestasi sebagai bagian dari ibadah kepada Allah swt.;
h. menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan ahli-ahlinya;
5. Berpolitik bagi NU harus dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama,
konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati, serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama.
6. Berpolitik bagi NU dilakukan untuk memperkukuh konsensus-konsensus
nasional, dan dilakukan sesuai dengan akhlakul karimah sebagai pengamalan
ajaran Islam Ahlussunnah wal-Jama'ah.
7. Berpolitik bagi NU tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan
bersama dan memecah belah persatuan dengan dalih apa pun.
8. Perbedaan pandangan di antara aspiran-aspiran politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawaduk, dan saling menghargai satu sama lain. Dengan demikian, berpolitik harus tetap menjaga persatuan dan kesatuan di lingkungan NU.
9. Berpolitik bagi NU menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik
dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan
perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat,
menyalurkan aspirasi, serta berpartisipasi dalam pembangunan.
NU juga merupakan gerakan keagamaan yang bertujuan untuk membangun dan mengembangkan insan dan masyarakat yang bertakwa kepada Allah swt., cerdas, terampil, berakhlak mulia, tenteram, adil, dan sejahtera. Sebagai organisasi kemasyarakatan, NU menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan bangsa Indonesia dan senantiasa menyatukan diri dengan perjuangan nasional.
Berkaitan dengan ranah politik, para pendiri NU tidak pernah bermimpi untuk
menjadikan jam'iyyahnya berkecimpung di dunia politik karena ia lahir bukan dari
wawasan politik, kepentingan kursi di parlemen, atau posisi penting di pemerintahan.
Akan tetapi, dalam kenyataan kelangsungannya selama 32 tahun (1952-1984).
organisasi ulama ini telah menceburkan diri ke dalam kancah politik.
Sikap NU atau warga NU terhadap perkembangan politik nasional memang
terkesan responsif dan akomodatif. Hal ini bisa dilacak jauh ke belakang. Sejak
didirikannya pada tahun 1926 sampai tahun 1945, NU menegaskan dirinya sebagai organisasi sosial keagamaan. Identitas itu ditinggalkan ketika pada tahun 1945-1952 NU bergabung dengan Partai Masyumi dalam bentuk federasi. Konflik-konflik internal antara unsur-unsur tradisionalis dan modernis di tubuh Partai Masyumi menyebabkan NU keluar dari Partai Masyumi dan menyatakan diri sebagai partai sendiri.
Pada Pemilu 1955 yang dikenal sebagai pemilu yang sangat demokratis, Partai
NU keluar sebagai partai politik terbesar ketiga setelah PNI dan Masyumi. Apabila
ketika NU masih bergabung dengan Masyumi hanya memperoleh 8 kursi, maka
setelah berpisah, NU berhasil menduduki 45 kursi di parlemen. Keberhasilan NU
dalam pemilu itu tidak hanya mengubah posisinya di parlemen, tetapi juga dalam
kabinet di mana dari 25 menteri yang ada, NU menduduki 5 kursi menteri.
Pada Pemilu 1971 yang diselenggarakan oleh Pemerintah Orde Baru yang penuh dengan intrik dan intimidasi, Partai NU menempati urutan kedua setelah Golkar. Apabila pada Pemilu 1955 NU mempunyai 45 wakil di parlemen, maka pada Pemilu 1971 ini NU berhasil menduduki 58 kursi di DPR. Artinya, ada
kenaikan 13 kursi yang diperoleh NU.
Pada tahun 1973, Pemerintah Orde Baru mengadakan restrukturisasi politik di
mana hanya ada tiga kekuatan sosial politik yang diperbolehkan eksis di Indonesia.
Ketiganya adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Empat partai Islam yang ada waktu itu, yaitu NU, Parmusi, Perti dan PSII, berfusi (melebur) menjadi satu partai, yaitu PPP.
Meskipun NU merupakan unsur terbesar dalam PPP, namun NU tidak pernah mendapatkan posisi yang strategis sebagai ketua umum partai. Di saat itu, situasi politik nasional juga kurang menggandeng NU sehingga NU merasa termarjinalkan di pentas politik nasional. Akhirnya, pada tahun 1984 melalui Muktamar NU ke-27 di Situbondo, NU menyatakan kembali ke Khittah 1926, yakni kembali ke niatan semula sebagai organisasi sosial keagamaan.
Dengan kata lain, NU menghentikan segala aktivitas politik praktis dan kembali
menggalakkan kegiatan sosial, pendidikan, dan dakwah. Dengan keputusannya
ini, NU tidak lagi berafiliasi ke PPP dan memberikan kebebasan kepada seluruh
warganya, termasuk para kiai, untuk menyalurkan aspirasi politik mereka ke partai politik mana saja yang mereka pilih.
Sebagai organisasi sosial keagamaan yang telah melepaskan baju politiknya,
NU lebih luwes dibandingkan apabila tetap berafiliasi ke salah satu parpol. Norma-
norma organisasinya lebih longgar. Meskipun demikian, keadaan itu tidak menutup kesempatan warga NU untuk berpartisipasi aktif di bidang politik.
Ketika era reformasi datang menyusul tumbangnya rezim Orde Baru,
kesempatan untuk mendirikan partai politik sangat terbuka. Oleh karena NU sebagai organisasi terikat dengan Khittah 1926 maka NU tidak mungkin berubah lagi
menjadi partai politik. Akan tetapi, nafsu warga NU sangat besar untuk mendirikan
parpol. Mereka mendirikan beberapa partai politik yang di antaranya difasilitasi
oleh PBNU, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Secara resmi, partai didirikan pada tanggal 23 Juli 1998.
Dalam perjalanannya, partai ini tidak bisa berjalan mulus sebagaimana yang
diharapkan. Beberapa kiai sepuh NU dan para politisi yang semula sangat mendukung PKB "lari" dan mendirikan partai baru yang dinamakan Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU). Dengan berdirinya PKNU, yang bidikannya juga warga nahdliyin, maka warga NU semakin banyak mempunyai pilihan. Sebagai konsekuensinya, tidak pernah ada partai dukungan warga NU yang bisa menjadi besar.
Sebagian orang berpendapat bahwa politik menjanjikan kursi empuk yang
menyenangkan. Hal itu didukung oleh kenyataan bahwa di antara tujuan politik
adalah merebut sebanyak-banyaknya kursi dan mengincar kedudukan serta posisi
di jajaran pemerintahan. Banyak orang, termasuk ulama dan kiai yang menyukai
posisi semacam itu. Keinginan seperti itu lumrah dan manusiawi selama hal itu
dicapai dengan jalan yang terhormat dan elegan.
Ketika atensi dan energi warga NU terserap ke dalam dunia politik, banyak
kiai dan pengasuh pesantren yang kurang memberikan perhatian terhadap jamaah
dan pesantren yang dipimpinnya. Akibatnya, banyak pesantren dan madrasah yang perkembangannya sangat memprihatinkan.
Polarisasi politik dan perbedaan cara pandang dalam berpolitik juga menye-
babkan perseteruan antarkiai dan antarpesantren yang diasuhnya. Padahal, mereka adalah sama-sama warga nahdliyin.
Idealnya, para pemimpin umat termasuk para kiai, tidak terlibat langsung dalam politik praktis. Mereka cukup menjadi guru bangsa yang selalu siap untuk dimintai nasihat dan fatwa. Keberpihakan mereka dalam salah satu partai politik, apalagi aktif di dalamnya, akan mengurangi akses dakwah ke masyarakat yang lebih luas.
Sebagai pewaris nabi, posisi yang sangat tinggi dalam Islam, tugas mereka
adalah membimbing umat menuju keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Tugas itu insya Allah jauh lebih bermanfaat daripada terjun di dunia
politik.
Qaulun Ma'sur
الوقت أثمن من الذهب
2.
Waktu itu lebih berharga daripada emas.
Rangkuman
1. Pada Muktamar NU ke-27 tahun 1984 di Situbondo, Jawa Timur disebutkan bahwa Khittah NU 1926 adalah landasan berpikir, bersikap, dan bertindak yang harus dicerminkan dalam tingkah laku dan proses pengambilanwarga NU keputusan, baik perseorangan maupun organisasi.
2. Bagi Nahdlatul Ulama, pemahaman Ahlussunnah Wal-Jama'ah itu tidak hanya
terbatas pada bidang akidah saja, tetapi juga meliputi bidang fikih, tasawuf, akhlak, dan kemasyarakatan.
3. Dalam memahami dan menafsirkan Islam dari sumber-sumbernya tersebut,
Nahdlatul Ulama mengikuti paham Ahlussunnah Wal-Jama'ah dan menggunakan jalan pendekatan (mazhab) sebagai berikut.
a. Di bidang akidah, Nahdlatul Ulama mengikuti paham Ahlussunnah Wal-
Jama'ah yang dipelopori oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi.
b. Di bidang fikih, Nahdlatul Ulama mengikuti salah satu jalan pendekatan
(mazhab) dari Imam Abu Hanifah an Nu'man, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hanbal.
c. Di bidang tasawuf, Nahdlatul Ulama mengikuti ajaran Imam al-Junaid al-
Bagdadi dan Imam al-Gazali.
4. Dasar-dasar paham keagamaan Nahdlatul Ulama menumbuhkan sikap
kemasyarakatan yang bercirikan sikap tawassut dan iktidal, sikap tasamuh,
sikap tawazun, dan amar makruf nahi mungkar
5. Pandangan/wawasan politik NU dirumuskan dalam khittah yang antara lain
berbunyi, "Nahdlatul Ulama sebagai jam'iyyah secara organisatoris tidak terikat
dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan mana pun juga."
Penulis: SYAIHUDDIN S. Pd
Alamat: Kertosono Ramah Gading-Probolinggo
#Ke-NU-an
#ke-NU-ankelas6
#KhittahNahdlatulUlama'